Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2013

20130114-083443 PM.jpg

Lagi bosen hari ini, otak yang lagi gak bisa diajak kompromi dan mulut yang lagi males ngomong, bener-bener penyakit komplikasi. Kalau suasana hati lagi begini, diajak bercanda pun kagak minat. Paling enak emang menumpahkan unek-unek lewat tulisan, karena tulisan ini paling jujur dan satu-satunya teman yang bisa menampung segala keluh kesah.

Benernya agak bingung mo nulis soal apa, tapi intinya malem ini cuma mo habisin waktu aja, membuang kekesalan dan menanti jalanan gak macet. Karena pengen nonton gak bisa (lagi) gara-gara urusan kerjaan. Heh, rasanya pengen ngilang sejenak dari muka bumi. Semalam tidur gak nyenyak, or terlalu nyenyak, sampai terbangun tiap jam mulai dari jam 1 sampe pagi jam 5. Ini susahnya jadi orang yang cuma bisa tidur 4 – 5 jam, terlalu lelah, ketiduran waktu siang selama 3 jam, alhasil malam susah tidur. Coba tidur jam 11 alhasil ya tadi, terbangun tiap jam mulai dari jam 1! Zzzz badan jadi gak enak rasanya, karena kalaupun bangun gak tau mau apa, coba tidur lagi ya gitu, bangun berkali-kali…

Akhirnya mutusin menulis soal basa basi, ya basa basi basi?! Kenapa gue kasih judul gitu? Entahlah belakangan lagi muak menghadapi basa basi yang basi. Susahnya jadi orang dengan kepekaan yang tinggi, loe akan tau kalau orang itu sekedar basa basi or emang tulus. Kadang gue sebel dengan berkah ini, karena apa? Gue lama-lama jadi muak menghadapi semua basa basi ini. Makanya kenapa gue selalu jadi orang yang to the point, terlalu to the point kadangkala, karena gue gak suka kepura-puraan. Kalau gue bilang A ya itu emang A buat gue, bukan sekedar basa basi, karena gue tau rasanya menerima basa basi itu memuakkan, sebisa mungkin gue akan apa adanya, walau ada orang yang justru suka basa basi dan malah gak suka dengan keterusterangan. Tapi gue tetep akan jadi diri gue apa adanya. Apa yang gue omong ya tandanya itu emang apa adanya, atau gue memilih males ngomong, gak usah ngomong sekalian daripada musti basa basi yang basi!

Dunia ini sendiri adalah sebuah ilusi, kepalsuan semata, jangan lagi loe tambah dengan basa basi loe yang penuh kepalsuan juga, yang bikin orang tambah tersesat gak bisa lagi bedain mana nyata dan mana ilusi, karena terbuai oleh mimpi! Heh, tapi itulah manusia, lebih suka terbuai mimpi indah daripada bangun dan melihat kenyataan yang ada. Karena orang suka disanjung, karena orang begitu buta dan bodoh! Kadang gue kesel, karena gue juga masih termasuk di dalamnya, sekalipun gue bisa ngomong ini dan itu, tapi gue juga belom membuka “mata” gue. Gue masih tidurrrr, sama dengan yang lainnya, dan ini sangat mengesalkan!

Dan tanpa basa basi lagi gue cuma mau orang tau, lebih baik ngomong apa adanya sama gue, walau kadang mungkin menyakitkan, tapi itu adalah proses. Bagi gue untuk membuat orang “terbangun” dari tidur, kadang loe musti melakukan sedikit “kekerasan”. Kalau gini gue jadi inget sepupu gue yang sempet satu kamar kost dengan gue, dia demen bener tidur. Jaman dia kuliah gue udah kayak ibu tiri, tiap hari musti bangunin dia buat pergi kuliah. Gue sampe harus ikutan hafal jadwal kuliahnya hanya buat bangunin dia buat kuliah pagi! Waktu itu biar udah dipangil berkali-kali kagak bangun juga tuh anak, sampe musti gue pukul-pukul pake bantal! Nah ini dia “kekerasan” yang gue maksud, tapi balik lagi semua itu tergantung “niat” di hati loe kan? Dan loe lakukan itu untuk kebaikan! Jadi berhentilah berbasa basi basi sama gue! Gue udah muak!

Jakarta, 14 January 2013
~Jen~

9.13 pm

Read Full Post »

20130108-061533 PM.jpg

Beberapa hari ini suasana hatiku sedang tidak menentu, mungkin tepatnya agak mellow. Bukan karena gejala penyakit wanita bulanan, tapi entahlah, sepertinya ada pesan yang tak tersampaikan yang masih harus kutemukan jawabnya. Jujur aku tidak suka dalam kondisi ini, saat aku kehilangan gairah, menjadi malas bicara dan yang terparah adalah menangis tanpa sebab dan aku tidak bisa mengontrol air mataku.

Heh rasanya sangat melelahkan, kalau pagi-pagi saat harus bergelut dengan macetnya jalanan ibukota, tiba-tiba kamu merasa begitu sedih dan menangis, tapi kamu bahkan tidak tahu apa yang membuatmu sedih, karena memang kamu tidak sedang memikirkan hal apapun yang membuatmu sedih, tapi ya itulah yang terjadi padaku. Ketidaknormalan yang seringkali melelahkanku dan menjadikanku orang yang aneh. Beberapa hari yang lalu saat melihat awan di langit yang cerah, awalnya aku merasa begitu gembira, tapi sesaat kemudian air mata mulai menetes dari kedua mataku. Aku jadi ingat, sejak kecil aku sangat suka memandang awan-awan yang berarak di langit. Seringkali aku membayangkan bentuk-bentuk tertentu dari awan-awan itu, tapi setelah itu aku merasa sedih dan menangis. Setiap kali memandang awan di langit terbersit rasa senang sekaligus sedih, entah mengapa, seolah di atas sana di balik awan-awan itu, ada sesuatu yang begitu kurindukan dan ingin kugapai namun tak pernah berhasil kuraih.

Aku jadi ingat, kira-kira dua bulan yang lalu, saat pulang dari kantor melewati jalan tol di saat senja, tiba-tiba melintas sekawanan burung yang seolah hendak pulang ke sarangnya. Saat melihat mereka, seketika aku merasa begitu gembira. Sungguh aneh, perasaannya tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Aku seolah melihat ‘teman-temanku’, setelah sekian lama terpisah dari mereka, sehingga aku merasa begitu gembira. Malamnya saat hendak tidur, aku kembali teringat akan kawanan burung itu, dan aku mulai menangis, merasakan kerinduan yang sekian lama terpendam, dan dari dalam hatiku seperti berteriak, “aku ingin pulang”, “aku rindu untuk kembali”… Aku hanya merasa sudah terpisah sekian lama dari ‘keluargaku’, ‘teman-temanku’ dan dari tempat di mana seharusnya aku berasal. Aku begitu ingin pulang, bersama kawananku….

Sebenarnya hari itu aku ingin menuliskan perasaanku itu, tapi entah mengapa selalu tidak ada waktu, sampai hari ini, saat suasana hatiku sedang tidak terlalu baik, sehingga aku memilih menyepi di tengah keramaian orang-orang yang sedang menikmati secangkir kopi, tanpa sengaja aku membaca sebuah artikel di web Tzu Chi mengenai kegiatan Tzu Ching Camp Internasional, dan di dalam artikel tersebut terulis sebuah judul lagu 燕子歸來 (Yan Zi Gui Lai) yang berarti ‘Burung Walet Pulang Kembali’. Isi lagu ini mengandung makna kembalinya sekelompok murid dari berbagai negara ke ‘kampung halaman batin’ yang diumpamakan sebagai sekelompok burung walet yang kembali pulang. Seketika aku jadi teringat kembali akan peristiwa kawanan burung itu, ingat akan perasaanku saat itu.

Mungkin memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, dan setiap tanyaku selalu terjawab meskipun kadangkala membutuhkan waktu. Aku tahu sudah saatnya aku ‘pulang’, kembali ke ‘kawananku”, kembali ke “rumahku”. Dan bukan sebuah kebetulan pula kalau nama mandarinku adalah 燕妮 (yen nie) yang berarti “burung walet perempuan”. Sekumpulan burung yang kulihat sore itu, perasaanku saat melihat mereka, dan berbagai pertanda lain yang mungkin sebagian besar belum kusadari, sebenarnya menuntunku untuk “kembali”.

Tekadku sudah bulat, ikrar sudah terucap, jalan sudah terbentang, tinggallah kakiku yang melangkah. Tinggal sayap kubentangkan untuk terbang kembali pulang bersama kawananku, kembali ke ‘rumahku’. Semoga cuaca bersahabat, semoga langit merestui perjalananku, semoga awan senantiasa menemaniku, dan cahaya mentari menyinari jalanku, dalam perjalanan pulangku, ke pangkuan “ibu” yang senantiasa menungguku kembali. Aku akan ‘pulang’, pasti….

Jakarta, 8 January 2013
~Jen~

7.33 pm

Read Full Post »

Nostalgia

Belakangan ini entah kenapa tiba-tiba jadi sering teringat dengan orang-orang yang pernah ditemui di masa lalu. Seperti judul tulisan ini, rasanya jadi ingin bernostalgia, mengenang masa-masa yang sudah lewat. Sebenarnya tulisan ini sudah ingin ditulis dari tahun lalu, sejak banyak peristiwa yang mengingatkanku akan orang-orang tersebut. Tapi karena kesibukan di akhir tahun dan kondisi fisik yang kurang baik, membuat aku selalu tidak sempat menuliskannya, dan baru sekarang aku menuliskannya setelah bertambah lagi sederetan nama yang muncul dalam kenanganku.

Orang-orang yang aku tuliskan di sini, adalah mereka-mereka yang sempat ‘berjodoh’ denganku, bertemu di kehidupan ini, beberapa meninggalkan kesan yang mendalam, beberapa hanya biasa-biasa saja tapi masih sering muncul dalam memoryku, dan semuanya akan kutuliskan satu persatu dalam edisi nostalgia ini.

Orang yang baru saja terlintas dalam ingatanku adalah dua orang yang pernah hadir dalam kehidupanku sebagai guru sekolahku. Yang satu adalah guru matematika SMP ku, orang yang aku tau menaruh perhatian atas kemampuanku dalam bidang itu. Yang masih membekas dalam ingatanku adalah bagaimana di hari-hari mendekati ujian nasional, beliau khusus meminjamkan buku matematika-nya yang mungkin sudah seperti kitab suci baginya, yang penuh berisi coretan pembahasan soal-soal itu kepadaku. Aku tahu saat beliau meminjamkan buku itu beliau menaruh harapan besar buatku, agar aku bisa meraih nilai 10, nilai sempurna seperti yang sudah dilakukan oleh kakak kelasku. Untungnya saat itu aku berhasil memenuhi harapannya dengan mempersembahkan nilai 10 di ujian nasional, untuk pelajaran matematika.
Yang kedua adalah almarhum guru Bahasa Indonesia ku di SMU. Sebenarnya aku sangat sedih untuk menuliskan ini, karena setelah lulus dari SMU belum pernah sekalipun aku berkesempatan bertemu beliau. Pak Kasworo, guruku itu mungkin adalah orang pertama yang menghargai bakat menulisku. Beliau juga yang menyadarkanku bahwa aku memiliki talenta dalam bidang ini. Aku tau dan bisa merasakan dia menyayangiku, dan memberi perhatian khusus dengan bakat yang aku miliki ini. Beliau mendorongku untuk menulis pertama kalinya dengan mengikuti lomba menulis resensi buku. Aku masih ingat kalau tidak salah judul bukunya adalah “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, sebuah karya sastra Indonesia. Aku tidak menang apapun dalam lomba itu, tapi aku merasa senang karena saat itulah untuk pertama kali aku bisa menyelesaikan sebuah tulisan, sementara begitu banyak coretan2 cerita pendekku yang tidak pernah selesai, yang kutulis semasa masih duduk di bangku SMP. Perhatian pak Kasworo tidak berhenti di situ, sampai aku bisa menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah sekolah, dan mulai menulis cerita-cerita pendek. Sayang penyakit kanker menggerogoti beliau hingga harus menghadap Sang Pencipta tahun lalu. Tak sempat aku menengoknya di kampung halamanku, padahal aku begitu ingin bertemu dan mengucapkan, “Terima kasih pak, lihatlah sampai sekarang saya masih tetap menulis, karena Bapak yang membuat saya menyadari betapa menyenangkannya menulis itu”. Hanya doa yang bisa aku panjatkan semoga beliau bisa tenang di sisi-Nya.

Orang-orang berikutnya yang melintas dalam ingatanku adalah orang-orang yang pernah mengisi hari-hariku semasa menjadi mahasiswi di Trisakti. Yang pertama adalah abang tukang buah di belakang terminal Grogol. Aku tidak tahu berapa usianya waktu itu, mungkin sekitar 20an lebih, belum terlalu tua sepertinya. Di awal-awal kuliah saat masih kost di belakang terminal, setiap hari kalau pergi ke kampus aku pasti melewatinya dan gerobak buah dagangannya. Dan saat kuliah, demi menjaga berat badanku, juga sekaligus irit dengan uang hidup yang pas-pas an selama jadi mahasiswi, abang tukang buah ini menjadi langgananku. Setiap hari membeli buah, buah yang sama, pepaya, nanas dan sedikit bengkoang, sampai-sampai aku sudah tidak perlu lagi menyebutkan pesananku, si abang sudah tau apa yang akan kubeli. Kalau diingat-ingat, kulit abang tukang buah itu hitam sekali karena mungkin setiap hari terbakar panasnya mentari ibukota. Saat sudah pindah kost, sesekali bila melewati terminal aku masih bisa menemuinya. Tapi sekarang entahlah, mungkin dia masih berjualan di situ, mungkin juga tidak. Si abang bukan tipe yang banyak bicara, tapi cukup ramah walau hanya senyum saja yang biasanya dia berikan tiap kali aku lewat dan menegurnya.
Berikutnya adalah pak Parto tukang es dung-dung yang berjualan seputar jalan Susilo. Bapak ini sudah cukup tua, mungkin sekitar 50an usianya waktu itu. Beliau mencari nafkah di ibukota sebagai tukang es keliling, meskipun demikian anak-anaknya bisa bersekolah di universitas negeri yg cukup bergengsi. Beda dengan si abang buah, pak Parto sangat hobby bercerita. Sambil melayani pesananku dia bisa cerita macam-macam. Aku sih senang-senang saja menanggapi ceritanya, kebanyakan beliau bercerita soal keluarganya, soal kehidupan dan seringkali terselip beberapa nasihat dalam setiap obrolan kami. Pak Parto selalu punya banyak waktu untuk cerita, karena untuk membuatkan pesananku butuh waktu yang lama dengan kondisi tangannya yang sudah gemetar, mungkin karena usia. Saat aku lulus dan sudah kerja, tapi masih kost di Grogol, aku masih sering melihat pak Parto jualan, tapi belakangan beliau sudah tidak kelihatan lagi, entahlah mungkin anak-anaknya sudah berhasil semua dan melarang bapaknya untuk jualan, walau dulu pun sudah pernah dilarang tapi memang pak Parto masih ingin jualan, atau karena memang kondisi usianya yang sudah tidak memungkinkan beliau untuk berjualan. Aku tidak pernah tahu lagi kabarnya.
Yang terakhir adalah si bapak tukang sapu jalanan, masih di seputar jalan Susilo, Grogol. Aku tidak ingat bagaimana awalnya, hanya yang kutahu setiap kali berpapasan dengan si bapak, aku yang selalu menyapanya, dan bak melihat pejabat yang lewat, si bapak otomatis akan berhenti menyapu, tersenyum ke arahku sambil mengangkat tangannya. Kami tidak pernah mengobrol, tapi selalu adegan itu yang terjadi tiap kali kami berpapasan. Aku menyapanya dengan senyuman dan memanggil “Pak…” Dan si Bapak akan berhenti menyapu, membalas senyumku sambil mengangkat tangan, dan sesekali berkata “Ya Non”, atau “Berangkat Non?”. Aku tidak tau usia si Bapak, sampai aku kerja si Bapak masih jadi tukang sapu jalanan. Dan sejak aku kerja, tiap lebaran aku pasti menyisihkan sedikit rejeki untuk si Bapak, tidak banyak mungkin, tapi aku tau buat si Bapak itu bisa jadi sangat berarti. Aku akan dengan sengaja mencari si Bapak, menelusuri jalan-jalan yang menjadi wilayah kerjanya. Selama beberapa tahun aku melakukannya, sampai aku sudah tidak kost lagi, seingatku ada sempat 1 kali aku dengan sengaja mencari si Bapak saat mendekati lebaran hanya untuk sekedar membagi kebahagiaan dan merasa bahagia juga tentunya dengan melihat wajah si bapak yang tersenyum sambil berkata “Alhamdullilah”. Sudah empat tahun ini aku tidak pernah lagi melihat si Bapak. Pertama karena aku memang sudah tidak tinggal di Grogol lagi, kedua mungkin memang si Bapak sudah tidak kerja lagi? Entahlah, aku sempat beberapa kali bertanya ke sepupuku yang masih kost di Grogol, apakah pernah melihat si Bapak tukang sapu ini? Tapi sepertinya sepupuku pun sudah tidak pernah melihatnya lagi.

Sehari sesudah Natal, aku mendapat sms dari pak Tikno, tukang ojek langgananku. Meskipun tidak merayakan Natal, tapi perhatiannya padaku cukup membuatku terharu. Pak Tikno pernah mengantarku pergi interview kerja di dua tempat kerjaku yang lama. Pernah juga mengantarku subuh-subuh ke stasiun Gambir saat akan perjalanan dinas kantor ke Cirebon, karena aku khawatir taxi akan susah menemukan tempat kost ku yang letaknya di gang sempit. Dengan teknologi, kami masih bisa berhubungan sampai saat ini, sudah sekitar 5 tahun dari mengenal pak Tikno pertama kali, karena diperkenalkan oleh teman kantorku, dan sejak itu jadi ojek langganan yang siap mengantarku ke mana saja. Aku sempat berpikir, satu hari nanti mungkin pak Tikno akan sama seperti guruku, si tukang buah, pak Parto ataupun si Bapak tukang sapu jalan. Hanya menjadi kenangan buatku…

Satu kali aku pernah “menerima” sebuah nasihat, melepaskan kepergian orang yang meninggal, seperti halnya pertemuan kita dengan orang-orang ini. Orang-orang yg sempat hadir di kehidupan kita untuk sesaat. Saat ini di manakah mereka? Kita tidak tahu. Baik-baik sajakah keadaannya? Kita pun tidak tahu. Begitu pula seharusnya kita melepaskan mereka yang sudah pergi meninggalkan kita. Hanya karena kita merasa mereka itu ‘milik’ kita, ayah kita, ibu kita, saudara kita, saat kehilangan kita merasa tidak rela. Anggap saja kepergian mereka seperti kita yang tidak lagi bertemu dengan orang-orang yg pernah hadir dalam hidup kita. Mereka masih ada (mungkin), di suatu tempat. Satu saat kita (mungkin) akan bertemu dengan mereka lagi. Jadi janganlah terlalu melekatinya dan bersedih saat kita ditinggal oleh mereka. Huft nasihat yang mungkin sulit dipahami ya, sakit kepala rasanya kalau harus memikirkannya. Dan sejujurnya sampai saat ini aku sendiri masih sulit untuk menerapkannya.

Dalam hidup kita seringkali menemui orang-orang yang meskipun hanya satu atau dua kali bertemu tapi masih berbekas dalam ingatan kita, karena mereka sudah memberikan kesan yang mendalam. Tapi ada juga orang-orang yang mungkin hanya lewat dalam kehidupan kita, yang sesekali saja namanya muncul dalam ingatan kita. Namun banyak juga orang yang walaupun pernah hadir cukup lama dalam hidup kita, tapi buat kita biasa saja sehingga tak ada ruang dalam memory kita untuk mengingatnya.
Masih banyak sederet nama yang sebenarnya melintas dalam ingatanku, termasuk mantan boss ku dulu pak H.K., karena tak sengaja kemarin membuka file chat kami yang lama. Meskipun kadangkala nyebelin, tapi aku tahu hatinya baik, meskipun seringkali dibuat sakit hati, tapi selalu bisa aku maafkan. Dan ternyata saat kubaca ulang obrolan kami saat aku sudah pindah kerja, dia cukup perhatian dan banyak menasihatiku juga. Tapi dasarnya aku yang sableng, gak pandang bulu, mau boss mau owner mau siapa pun, kalau menurutku salah, pasti akan aku ocehin. Heh kebiasaan buruk nih, entah buruk atau baik, mungkin tergantung porsinya, karena di satu sisi aku hanya merasa harus terus terang, dan terbuka, tapi mungkin gak semua orang akan suka.

Dan akhirnya, sekarang aku harus menutup edisi nostalgia ini, karena sudah cukup panjang, sangat panjang bahkan, kalau diteruskan akan jadi novel. Jadi sebaiknya diakhiri sampai di sini, dengan masih menyisakan sederet nama-nama lain di kepala, dan wajah-wajah mereka satu persatu yang muncul dalam ingatanku, dan tak sempat kutuliskan semua di sini. Aku hanya berharap di manapun mereka semua berada sekarang, mereka bisa berbahagia. Pernah bertemu berarti ‘berjodoh’, dan semoga kelak masih bisa ‘berjodoh’ lagi…

Jakarta, 4 January 2013
~Jen~

01.15 am

Read Full Post »

Doa

Tuhan…
Satu tahun lagi sudah berganti,
dan Kau masih berikan aku nafas untuk menjalaninya…
Terima kasih atas segala berkat dan rahmat-Mu yang senantiasa menyertaiku hingga hari ini.

Tuhan…
Maafkan aku seringkali tak mendengar-Mu,
Maafkan aku seringkali mengabaikan ajaran-Mu, dan memilih mengikuti mara dalam diriku…

Tuhan…
Tlah sekian lama aku berhenti ‘berdoa’ kepada-Mu…
Sejak tak Kau kabulkan satu pinta sederhana-ku…
Sejak kepergian orang yang paling berharga dalam hidupku, ayahku…

Tuhan…
Bukan, bukan karena aku marah lalu meninggalkan-Mu
Tapi aku belajar memahami bahwa doa bukan sekedar meminta dari-Mu,
Bahwa doa ku adalah segala laku-ku, tutur kata-ku, perbuatan-ku…

Tapi aku lupa Tuhan…
Aku lupa kalau Kau selalu ada untukku…
Lalu aku menjadi sombong hingga merasa Kau bukan apa-apa…
Dan aku lupa menyertakan-Mu dalam setiap ‘doa’ku…

Maafkan aku Tuhan…
Hari ini aku bersujud di hadapan-Mu,
Menyadari kesalahanku dan kembali memohon pada-Mu,
Sertailah aku selalu, kabulkanlah doa yang kupanjatkan dalam setiap laku-ku.
Jangan biarkan ‘doa’ itu tidak sesuai kehendak-Mu…

Satu pinta tulusku padaMu,
Jadilah selalu pelita di dalam hatiku,
Terangilah aku di dalam menempuh perjalanan panjang ini…
Tetaplah terus bersamaku, peluklah aku selalu dalam kasih-Mu,
Biarkan aku merasakan damai dan cinta-Mu,
Biarkan aku menyatu dengan-Mu…
Hingga tiada Kau dan aku, ataupun kita,
dan yang tersisa hanya cinta…

Sadhu, Sadhu, Sadhu…

Jakarta, 1 Januari 2013
~Jen~
03.12 am

Di tengah kesadaranku akan hadir-Mu Tuhan

Read Full Post »